الْحَمْدُ
للهِ رَبِّ الْعَالَمـِيْنَ , وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيـِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى
آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
(أَمَّا بَعْدُ) فَيَقُوْلُ الْمُرْتَجِي
غُفْـرَ الْمَسَاوِى عَبْدُ الله ِبْنُ حِـجَازِىّ الْخَلْوَتِيُّ الْمَشْهُوْرُ بِالشَّرْقَاوِىِّ:
هَـذِهِ تَقْيِيْدَاتٌ لَطِيْـفَةٌ عَلَى حِكَم ِالْعَارِفِ بِاللهِ سَيِّدِىْ
أَحْمَدَ بْن عَطَآءِ اللهِ قُدِّسَ سِرُّهُ ...... الخ
BISMILLAHIR ROHMAANIR ROHIM.
Yang disebut Kitab Al-Hikam
yaitu yang berada di dalam kurung. Adapun yang lain-lain seperti muqoddimah
itu tadi adalah syarah (penjelasan) dari Syekh Abdulloh As-Syarqowi.
Setengah dari pada peraturan
mengarang kitab, kitab agama terutama, dimulai dengan “Bismillaahir
Rohmaanir Rohiim” atau menyebut nama Alloh, kemudian “Al-Hamdu lillah
…......…dst” pernyataan syukur kepada Alloh. Di dalam Al-Qur’an dimulai
dengan “Bismillah”... Bismillah atau BILLAH istilah
Wahidiyah/Tauhid. “Ar-Rohmaan Ar-Rohiim” ini sifat “JAMAL” atau
sifat kasih sayang. Menunjukkan Tuhan lebih banyak kasih sayang-Nya. Ada dawuh:
سَبَقَـتْ رَحْمَتِيْ غَـضَـبِيْ
(Rohmat-Ku mendahului
amarah-Ku)
Kasih sayang-Ku lebih dahulu, lebih
menonjol dari pada murka-Ku. Ini
supaya hamba-Nya atau manusia senantiasa mengharap kepada Alloh SWT. Jangan sampai putus asa atau agar
menyadari bahwa rohmat itu min ‘indillah. Rohmat atau ni’mat,
baik Ni’matul-ijad (ni’mat diwujudkan oleh Alloh), maupun ni’matul
imdad (ni’mat dipelihara).
وَرَحْمَـتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْئ {الا
عراف 156 }
(WAROHMATII WASI’AT KULLA SYAI-IN)
( Dan rohmat-Ku meliputi segala sesuatu)
Tapi kalau Ghodlob
atau murka Tuhan, itu hanya sebagian. Dan adanya kemurkaan Tuhan itu sebabnya
dari si hamba. Jadi rohmat atau kasih sayang Tuhan itu lebih kuat dari
pada ghodlob atau murka-Nya. Disamping itu, sekalipun manusia itu selalu
berlarut-larut, kalau dibanding dengan belas kasihan Tuhan, bukan bandingan. Jadi terkecam sekali kalau berputus asa karena
berlarut-larutnya.
Penyarah
Hikam Syekh Abdulloh As-Syarqowi mengatakan bahwa isi pada Kitab Al-Hikam pada
umumnya meningkatkan. Meningkatkan Tauhid dan ‘ubudiyah. Dan
memang sudah seharusnya kita sebagai manusia dan lebih-lebih sebagai Ummat
Islam meningkatkan Tauhid dan ‘ubudiyah kepada Alloh.
Pada Minggu yang lalu saya kemukakan
Syekh pengarang Al-Hikam, Syekh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim, terkenal
sebagai sebutan Ibnu ‘Athoillah, As-Sakandari. Beliau berguru pada Syekh Abul
Abbas Al-Mursi. Sebelum Beliau terjun dalam
bidang Tasawuf sudah menguasai bidang Syari’at. Disamping terus memperdalam
bidang Syariat beliau terjun pula dalam bidang haqikat atau tasawuf. Syekh Abul
Abbas Al-Mursi tadi adalah muridnya Syekh Abul Hasan As-Syadzali. Dan Beliau ini Murid dari Syekh Ibnu Abdis-Salam
Al-Masyisy. Tanggal kelahiran Beliau Ibnu ‘Athoillah tidak disebutkan, tapi
hanya wafatnya disebut dalam Kitab At-Thobaqotus Syafi’iyah. Wafat di
Qohiroh Mesir pada Bulan Jumadil Akhir tahun 709 H. Entah masuknya kitab
Al-Hikam atau ke Jawa khususnya Jawa Timur, kita tidak tahu. Begitu juga tidak
diketahui tahun berapa kitab Hikam dikarang.
مِنْ عَـلَامَـةِ اْلإعْـتِمَادِ عَـلَى الْعَـمَل نُـقْـصَانُ
الرَّجَآءِ عِنْدَ وُجُـوْدِ الـزَّلَلِ
« MIN
‘ALAAMATIL-I’TIMAADI ‘ALAL‘AMALI NUQSHOONUR-ROJAA-I ‘INDA WUJUUDIZ-ZALALI
Itulah kalimah Hikam
yang pertama. Disebut “Hikam”, kata jama’
dari kata “hikmah”. Artinya kata-kata yang
berguna. Biasanya kata-kata hikmah itu singkat, tapi tegas dan luas. Hikmah
atau kata mutiara.
Setengah dari pada tandanya
menjagakan amalnya, ibadah,
pebuataannya, atau usahanya, yaitu turun harapan atau tipis harapannya ketika
menemui kemacetan,
kegagalan,
kenegatifan atau kesalahan, disengaja atau tidak.
Ketika mengalami atau
menemui kesalahan dalam usaha atau ibadahnya lalu tipis harapanya. Pesimis,
kecil hati. Tapi kalau mengalami keberhasilan atau kemajuan, menjadi tambah
atau besar harapan. Besar hati atau optimis. Itu tadi setengah dari pada tandanya menjagakan amal.
Amal jawarih seperti dzikir, sembahyang, puasa dan lain-lain. Terutama
amal anggota lahir. Karena kalau amal batin, bagi orang yang sudah bisa
menggunakannya, lebih selamat. Adapun amal lahir seperti baca sholawat, dzikir
atau mujahadah sekalipun dan sebagainya, amalan yang secara langsung kepada
Tuhan seperti sembahyang, baca qur’an, dzikir, dan sebagainya, atau amal-amal
yang ada hubungan di dalam masyarakat seperti zakat, menolong, atau memberi
sedekah, memberi petunjuk dan sebagainya, itu semua kalau tidak tepat atau
salah, menjadi tipis harapan. Harapan berhasil, harapan diridloi Tuhan, atau
harapan selamat.
Itu semua bagi orang yang masih menjagakan kepada
amal-amalnya. Yaitu orang yang masih tebal
nafsunya. Masih dikuasai oleh nafsu lalu mengaku bisa berbuat begini begitu.
Bisa beramal dan sebagainya, sehingga menjagakan atau membangga-kan kepada
amalnya atau usahanya. Malah di sini seterusnya
disebutkan :
وَالْمُعْـتَمِدُ عَلَى ذَلِكَ الْعُـبَّادُ
وَالْمُرِيْدُوْنَ.
« WALMU’TAMIDU
‘ALAA DZAALIKA AL’UBBAADU WALMURIIDUUN »
“Orang
yang menjadi tipis harapan ketika menemui kesalahan atau kenegatifan yaitu
orang yang menjagakan amalnya tadi, ialah mereka ‘ubbad (orang-orang
ahli ibadah lahir), dan mereka muriidUun (orang-orang yang menginginkan
wushul atau sadar kepada Alloh SWT).
Kalau dijelaskan ‘ubbad atau muriidun,
ya otomatis mereka begitu, karena belum sadar. Pasti ! Kalau salah atau berkurang, itu menjadi berkurang
harapannya. Otomatis. Karena belum sadar
kepada Alloh SWT
فَالأَوَّلُوْنَ يَعْتَمِدُوْنَ عَلَيْهَا فِي دُخُوْل
الْجَـنَّة ِوَالتَّـنَعُّم ِفِيْهَا وَالنَّجَاة ِمِنْ عَذَابِ الله ِتَعَالَى.
وَالآخـِرُوْنَ يَعـْتَمِدُوْنَ عَلَـيْهَا فِي الْوُصُوْل ِإِلَى الله ِوَكَشْفِ
الأَسْـتَارِ عَن ِالْقُلُوْبِ وَحُصُوْل الأَحْـوَال ِالْقآئـِمَةِ .......الخ
Golongan
pertama, orang ahli ibadah itu yang diinginkan surga. Atau istilah lain selamat
dunia akhirot dan surga yang tinggi yang megah dan sebagainya. Adapun “muriduun” yaitu murid, …. orang
yang menghendaki. Menghendaki wushul
atau sadar kepada Alloh SWT. Muriduun atau “saalikuun”. Dalam satu hal sama.
Tapi sebenarnya yang dimaksud “muriduun” itu orang yang baru
melangkah atau akan melangkah, dan "saalikuun"
orang yang sudah atau sedang berjalan. Tapi itu tadi kalau kedua kata itu
berjajar. Sedang kalau tidak berjajaran, terpisah, yang dimaksud saalikuun
juga muriiduun.
Jadi
kalau “Muriduun”, mereka menjagakan amalnya untuk wushul
kepada Alloh SWT. “Kalau saya mujahadah mempeng, giat, pasti cepat mencapai
wushul atau sadar”. Itu fikiran mereka.
Lha dua kelompok “ubbad”
dan “muriidun” tersebut, di dalam menjagakan amal mereka, itu
terkecam. Mengapa terkecam ? Sebab ya itu tadi masih mengaku. Mengaku bisa
beramal, bisa berusaha. Masih memandang kepada nafsunya. Memandang kepada pribadinya. “Aku ada dan
aku bisa berbuat, bisa beramal”. Ini terkecam. Sebab bukankah sesungguhnya “Laa
Haula Walaa Quw-wata Illa Billah”? Kok dia mengaku ada, mengaku bisa
berbuat, bisa beramal dan sebagainya, itu terkecam
Para
hadirin hadirot!! mari kita koreksi ! Mari kita koreksi keadaan diri kita
masing-masing. Terutama soal yang pokok ! Sebelum kita melangkah, harus sudah
kita dhedher tanaman itu. Harus kita dasari memakai dasar yang teguh dan
kuat. Ibarat bangunan, itu pondasinya. Bangunan yang tidak ada pondasinya yang
kokoh pasti hancur. Begitu juga amal perbuatan.
Kalau tidak ada pondasi ini, otomatis hancur ; tak berguna ! Hancur
menjatuhi kepada yang membangun. Ngembruki atau menjatuhi soal dunia itu
sudah berat, lebih-lebih ngembruki soal akhirot, itu lebih berat.
Itu tadi soal tauhid yang
penting dan pokok sekali. Bagaimana kita
di dalam mujahadah, di dalam kita beramal, apakah harapan kita tetap atau
berubah-ubah, pasang surut. Kalau harapan kita pasang surut, menurut keadaan
kita, itu berarti belum tepat. Kalau hati kita pasang surut rojak-nya
atau optimisnya, pasang surut, berubah-ubah menurut keadaan diri kita, berarti
itu tidak tepat ! Mestinya harapan itu harus hanya diarahkan kepada Alloh
SWT. Kok lalu
diarahkan kepada amal kita, itu makanya tidak tepat. Kalau perlu ini suul
adab ! Salah
alamat !
Mari kita dirikan pondamen di dalam
hati sanubari kita. Pondamen dari segala amal yaitu Tauhid di dalam hati
sanubari kita yang sekokoh-kokohnya ! Jangan
sampai kita menjagakan kepada amal kita ! Kalau ketika sregep
menjadi besar harapan tapi kalau sedang ngglonjom lalu tipis
harapan. Itu namanya masih mempertuhan
kepada nafsunya, kepada amalnya, kepada usahanya ! Kita harus memandang kepada
Alloh SWT ! Sekalipun bagaimana giat kita, tapi kita
harus tetap takut kepada Alloh SWT ! Sebab
hanya Alloh yang hanya ditakuti. Sekalipun bagaimana baiknya keadaan kita !
Sekalipun bagaimana ngglonjom kita, kita harus tetap mengharap kepada
Alloh SWT ! Mengharap kepada Alloh SWT ! Karena sifat Tuhan, pemberian Tuhan tidak
digantungkan kepada keadaan atau usaha kita. Sebelum ada apa-apa, Alloh SWT
sudah “WAROHMATII WASI’AT KULLA SYAI-IN” “BISMILLAAHIR ROHMAANIR
ROHIIM” seperti pada permulaan tadi. Sama sekali tidak terpengaruh oleh
keadaan kita, karena ngglonjom
atau giat,…. sama sekali tidak.
Lha kalau begitu, Nabi Adam,As, itu salah semua,
misalnya. Jangan begitu, jangan tergesa-gesa menyalahkan suatu persoalan
sebelum menguasai sepenuhnya segala
sesuatu yang bersangkutan dengan persoalan. Kalau memang sudah menguasai suatu
persoalan secara obyektif, secara menyeluruh itu boleh menyalahkan sesuatu. Menguasai
jumlah dan tafsil-nya sampai menyeluruh. Baru boleh menyalahkan.
Mari para hadirin hadirot, sekali lagi kita mengecam
kepada diri kita sendiri, tapi harus didasari LILLAH-BILLAH !
Diwaktu
kita ngglonjom kok lalu mengharap, itu dalam satu hal terkecam !
Terkecam ! Dalam Al-Qur’an ada kata-kata “illa amaaniyya”. Yaitu
orang yang hanya menduga-duga. Nglamun. Mengharap agar roja’
tapi tak mau berjuang, tak mau usaha, itu namanya melamun. Bukan roja’,
sekalipun tidak harus mengandalkan amalnya, perbuatan-nya, ibadahnya, tapi
harus, … harus giat berusaha. Bersungguh-sungguh, bermujahadah ! Jadi jangan
sampai kita salah faham atau salah menempatkan segala bidang di masing-masing
tempatnya ! Kalau kita salah dalam menempatkan
segala sesuatu di tempatnya, itu namanya dholim. dzholim.
Definisi dholim yaitu
الظُّـلْـمُ هُوَ وَضْعُ شَيْئ ٍفِي غَيْرِ مَحَلّـِهِ
(Dhulmu
yaitu menempatkan sesuatu bukan di tempatnya)
Begitu juga kalau kita menjagakan amal, itu
namanya salah alamat. Dholim.
Mestinya harus menjagakan kepada Tuhan, kok menjagakan kepada amal, itu dholim.
Sekalipun ngglonjom, tetap harus menjagakan kepada Tuhan ! Tapi dalam
kita menjagakan kepada Tuhan kok tidak mau berbuat atau berusaha itu namanya “amani”
-lamunan. Dan ini terkecam !
Jadi
mengharap atau roja’ kepada Tuhan itu penting, tapi yang lebih
penting lagi, lebih prinsip adalah ‘tepatnya’. Hubungan ini mungkin, orang yang
selalu kuat, tekun, non stop usahanya, mujahadahnya, tapi tidak ada roja’
kepada Tuhan, melainkan menjagakan kepada amalnya, mungkin masih lebih baik
dari pada orang yang kurang tekun amalnya, sering istirahat tapi dia tepat.
Tapi kita harus sebanyak mungkin dan setepat mungkin. Ini seharusnya. Tapi “al-aham”
setepat mungkin. Jadi yang penting, yang prinsip yaitu ‘setepat mungkin’.
Dan Insya Alloh kemampuan kita masih banyak untuk usaha setepat
mungkin dan sebanyak mungkin. Jadi jangan sampai kita menyalahgunakan.
Misalnya, “Ah biarlah sedikit asal tepat. Sekalipun banyak, tapi tidak
tepat itu tak berarti”, dan sebagainya. Itu namanya menyalahgunakan.
Tidak boleh dan otomatis terkecam. Terkecam karena menyalahgunakan. Dus, sekali
lagi kita harus setepat mungkin dan sebanyak mungkin. Al-aham,
yang lebih prinsip “setepat mungkin”. Istilah umum kuwalitas atau kualitet. Adapun kuwantitas
atau banyaknya, itu nomor dua. Atau isi atau mutu dari pada itu semua.
Kuwalitas ! Tapi kita harus berusaha mengisi dua hal itu. Ya kuwalitas, ya
kuwantitas !
Itu
umum, soal apa saja. Misalnya soal LILLAH BILLAH. Yang paling
pokok adalah BILLAH. Karena hubungan dengan Tauhid.
Dan hubungan dengan ‘ubudiyah. Tapi yaitu tadi mungkin disalah gunakan. Kalau berani
menyalahgunakan, itu berarti bunuh diri. Jadi yag prinsip adalah BILLAH
atau Tauhidnya. Tapi kita harus usaha bersama-sama mengisi BILLAH
dan LILLAH. Haqiqot dan syare’at
! Begitu juga hubungan dengan roja’ dan ikhtiar atau usaha.
Kembali
lagi pada pengajian. Setengah dari pada alamat atau tanda menjagakan amal, tidak menjagakan Tuhan,
yaitu « nuqshonur-roja’ » (berkurangnya harapan atau
pessimis ketika dalam keadaan terpeleset). Wah harapan tipis dapat
selamat dunia akhirat, dapat diridloi Alloh, atau dapat wushul kepada
Tuhan, ketika dalam keadaan ma’siat, ketika dalam keadaan ngglonjom. Itu
namanya menjagakan amal atau usahanya, tidak menjagakan kepada Tuhan. Istilah
Wahidiyah mejagakan nafsu, tidak menjagakan Alloh !
Para hadirin hadirot, mari soal yang pokok
kita tempatkan pada yang pokok juga. Kita harus “yuktii kulla dzii haqqin
haqqoh”. Soal pokok harus ditempatkan pada yang pokok, dan yang kurang
pokok juga pada tempatnya masing-masing. Dan seterusnya. Kata Sayyidina ‘Ali Karromallohu
wajhahu:
مَا هَلَـكَ امْـرؤٌ عَرَفَ قَـدْرَ
نَفْـسِهِ
(Tidak
akan mengalami kerusakan orang yang tahu akan kedudukannya).
Kebalikan
dari ini ialah dholim tadi. Yaitu
menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.
وَمِنْ عَلَامَةِ
كَـوْنِـهِ مِنَ الْعَارِفِـيْنَ فَـنَآؤُهُ مِنْ نَـفْسِهِ , فَـإِذَا وَقَعَ فِى
زَلّـَة أَوْ أَصَابَهُ غَفْلَـةٌ شَهِدَ تَـصْرِيْفَ الْحَـقِّ فِـيْهِ
وَجِرْيَانَ قَضَآئِـهِ عَلَيْهِ كَمَا أَنَّـهُ إِذَاصَدَرَ مِنْـهُ طَاعَـةٌ
أَوْ لاَحَ لَهُ مُشَاهَدَة ٌ قَلْبِـيَّةٌ لَمْ يَرَ فِى ذَلِكَ حَوْلَهُ وَقُـوَّتَـهُ.
فَلاَ فَرْقَ عِنْـدَهُ بَيْنَ الْحَالَـيْنِ ِلأَنـَّهُ غَـارِقٌ فِى بِـحَارِالتَّـوْحِيْدِ
قَـد اسْـتَـوَى خَوْفُـهُ وَرَجَــآؤُهُ...الخ
Otomatis yang dikatakan ‘ubbad yang menjagakan amalnya tadi
orang ahli ibadah yang belum sadar. Ada kata-kata:
مَنْ صَلَّى خَمْسًا فِى أَوَّلِ اَوْقَاتِـهَا سُمـِّيَ
عَابِدًا
(orang yang sembahyang pada awalnya waktu,
disamping ibadah lain-lain, itu dinamakan -‘abidan- ahli ibadah).
وَمَنْ خَرَجَ عَنِ الدُّنْيَا سُمِّيَ زَاهِدًا
((Dan orang yang keluar dari dunia, orang yang menjauhi
dunia, fanak atau rusak pandangannya terhadap dunia, dinamakan orang yang
bertapa- zaahidan).
وَمَنْ خَرَجَ عَـنْ نَفْسِهِ سُمِّيَ عَارِفـًا
(Barang siapa yang keluar
dari nafsunya, yang bebas dari nafsunya, dinamakan orang ‘Arif, orang yang
sadar kepada Alloh).
Tapi ya bisa
merangkap-rangkap. Artinya ya “al-‘arif” (orang yang sadar kepada
Alloh) dan disamping itu ia juga ahli ibadah dan zuhud/ ber tapa. Ada istilah:
اَلْعَارِفٌ كَآئِنٌ بَآئـِنٌ
Orang
‘Arif itu “kaa-inun”. Tetap, ada diantara manusia yang lain. Dalam
bidang apa saja, dalam segala bidang. Tapi “baa-inun” dia di luar
manusia. Wujudnya sama-sama ke pasar, ya sama-sama tukang jahit, ya juga
sama-sama ke sawah, tapi yang satu hanya lahirnya saja, dan yang satu
lagi luar dalam.
اَلْـعَارِفُ
ظــَاهِرُهُ مَعَ الْخَلْـقِ
(Orang ‘Arif lahirnnya bersama makhluq),
tapi
وَبَاطِـنُهُ
مَعَ الله
(Batinnya
bersama Alloh).
Ya ini mudah-mudahan para
hadirin hadirot, pengajian pagi ini diridloi Alloh wa Rosuulihi,
membuahkan manfaat yang sebanyak- banyaknya. Menjadi sebabnya kita sadar dan
meningkat kesadaran kita kepada Alloh wa Rosuulihi. Amiin ! Amiin !
Kembali
pengajian
وَمِنْ عَلامَةِ كَوْنِهِ مِنَ الْـعَارِفِـيْنَ فَـنَاؤُهُ عَنْ نَفْسِهِ
(Setengah dari alamat atau tandanya orang itu
minal ‘arifin (orang yang sadar kepada Alloh) dia fana’ dari pandangan terhadap nafsunya. Nafsunya
tidak jadi acara.
وَإِذَا وَقَعَ فِي زَلَّةٍ أَوْأصَابَـهُ غَـفْلَة ٌشَهِدَ
تَصْرِيْفَ الْحَقِّ فِيْهِ
(Ketika
dianya terjatuh atau terkena musibah lupa, dia selalu sadar akan berlakunya
Kekuasaan Tuhan). Dalam istilah Wahidiyah
“BILLAH”.
Bidang BILLAH. Baik
dalam keadaan ma’siat atau tha’at ini harus senantiasa BILLAH. Tapi
kalau bidang LILLAH atau syari’at, itu hanya soal tha’at yang
boleh diberi dasar LILLAH. Kalau di waktu ma’siat tidak boleh didasari LILLAH.
Seperti di dalam rukun Iman yang nomer enam :
وَالْقَدْرِخَيْرِهِ وَشَرِّهِ مِنَ الله
(Harus yakin bahwa yang baik dan buruk itu sudah
qodar dari Alloh)
Ibarat
bangunan sudah direncanakan oleh yang membangun. Baik itu buruk atau baik.
Begitu juga makhluq, sudah direncanakan oleh Alloh “Khoirihi wa sarrihi
minalloh”. (Baik dan buruk, itu hanya dari Alloh. Itu bidang BILLAH.
Harus kita isi, disamping mengisi, bidang LILLAH.
Lha
itu orang ‘arifin, ketika dalam keadaan ter-belegong dia tetap
menyadari BILLAH. Menya-dari itu dari Alloh. Ini tidak berarti lalu tidak mengisi
bidang LILLAH. Yang sempurna, yang seharusnya ialah disamping mengisi
bidang BILLAH, bidang haqiqot, harus mengisi bidang syari’at,
bidang LILLAH !
Ketika
dalam maksiat misalnya. Dalam bidang haqiqot, harus tetap BILLAH
dan dalam bidang syari’at harus taobat. “Robbanaa
dholam-naa anfusanaa” misalnya. Mengecam nafsunya. Tapi
ya harus didasari LILLAH. Mengecam nafsunya tidak didasari LILLAH,
itu berarti masih nuruti nafsu. Masih dijajah / dikuasai oleh nafsu. Ini
mungkin saking licinnya nafsu. Bermujahadah, dzikir sekalipun kepada Alloh,
tapi tidak didasari LILLAH, ini berarti nafsu. Oleh karena syari’at
baik perbuatan lahir atau perbuatan hati, yang tidak didasari LILLAH,
itu otomatis nafsu. Dzikir kepada Alloh, baik dzikrullisan atau dzikrulqolbi
jika tidak didasari LILLAH, ini otomatis Linnafsi-Binnafsi.
Adapun bidang tauhid, tidak ada hubungan dengan LILLAH. Ya BILLAH
itu sudah ! Saya BILLAH ini saya
dasari LILLAH umpamanya, itu tidak benar. BILLAH ya BILLAH
itu sudah. LILLAH atau syari’at itu tidak hanya bidang lahir saja. Tapi
juga batin atau hatinya. Misalnya punya niat, atau dzikir sekalipun, kalau
tidak dialamatkan kepada LILLAH, otomatis LINNAFSI-BINNAFSI.
Meneruskan pengajian. Dus orang ‘Arif, ketika dia
mengalami kebaikan, dia tidak mengaku diri. Tetap sadar BILLAH.
Tetap "La Haula Walaa quwwawata Illaa Billaah". Tidak ada
bedanya baginya, baik dalam keadaan baik atau dalam keadaan tidak baik, tetap
dia BILLAH. Tetap ber-tauhid.
لأَنَّهُ غَارِقٌ فِي بِحَارالتَّـوْحِيْدِ
(Dia tetap tenggelam di dalam samudra tauhid)
قَدِ
اسْتَـوَى خَوْفُـهُ وَرَجَاؤُهُ
(Tetap
sama khouf dan rojaknya. Tetap sama takut dan harapannya).
Karena sifat Tuhan itu ditakuti dan diharap.
Buktinya lagi yaitu “Bismillaahir Rohmaanir Rohiim” “Ar-Rohmaan Ar-Rohiim”. Kasih sayang.
Ini berarti sekalipun keadaan kita bagaimanapun juga, tetap harus mengharap
kasih sayang Alloh. Kalau karena berlarut-larut
lalu putus asa, itu terkecam. Dalam Al-qur’an sudah
diperingatkan :
إِنَّهُ لاَ يَيْأسُ مِنْ رَوْح ِالله ِإِلا َّالْـقَوْمُ
الْكَافِرُوْنَ ( يو سوف )
(Sesungguhnya tiada yang putus asa dari rohmat Alloh kecuali
orang-orang yang kafir)
Orang putus asa,
berarti orang yang meniadakan Tuhan. Orang yang menutup-nutup kemurahan Tuhan.
Istilah manusia, orang yang melukai Tuhan. Tuhan tidak dapat dilukai. Jadi
dalam keadaan buruk atau berlarut-larut harus mengecam kepada dirinya sendiri.
فَمَنْ
لَمْ يَجِدْ هَذِهِ الْعَـلاَمَاتِ فـِيْهِ فَلْـيُجَاهِدْ نَـفْسَهُ
بِالرِّيَاضَةِ وَاْلأ َذْكَارِحَتَّى يَصِلَ إِلَى مَقَامِ الْعِرْفَانِ
)Barang siapa keadaannya belum
cocok dengan itu tadi, harus usaha sekuat mungkin !. Usaha sekuat mungkin. Usaha sekuat mungkin dengan
riyadloh-riyadloh dan banyak dzikir(.
ا
Hubungan dengan ini Imam Syazali
bersabda :
مَنْ لَمْ يَتَـغَلْـغَلْ فِي عِلْمِنَا هَـذَا كَانَ مُصِرًّا عَلَى الْكبَآئِرِ
وَإِنْ عَمِلَ مَا عَمِلَ وَهُوَ لا يَعْـلَمُ
(Barang
siapa yang belum mengecakkan atau mera-sakan ilmuku ini, dia berdosa besar
sekalipun bagaimana baiknya. Dan dianya tidak sadar, tidak merasa kalau berdosa
besar !)
Bermujahadah
dan riyadloh, lahir batin ! Mujahadah itu yang penting hatinya
bersungguh-sungguh ! Mujahadah lahirnya untuk sebagai pupuk, hatinya harus
senantiasa setiti ngati-ngati (senantiasa waspada). Kalau menyeleweng
harus cepat-cepat kembali. Senantiasa memusatkan perhatian ! Senantiasa Fafirruu
Ilallohi wa Rosulihi ! Sekuat
mungkin ! Ibarat anak-anak bermain-main jumpritan, harus selalu
kuat-kuat memegang jumpritan-nya. Kalau
sampai renggang, sekalipun hanya satu senti, pasti ditelan oleh lawan. Yaitu
nafsu ! Tapi kalau sungguh-sungguh kuat memegang jumpritan-nya, dalam
keadaan bagaimanapun tidak apa-apa. Malah dapat memanfaatkan.
Jadi
kalau orang merasa belum memiliki, atau belum memiliki dengan tanda-tanda itu,
sebab mungkin belum memiliki tapi sudah merasa memiliki mungkin, kalau belum
memiliki harus berusaha sekuat mungkin dengan kemampuan yang ada padanya !
Sebab hal ini yang akan menentukan kelak.
Kita maklum, kita akan hidup di alam akhirot sak jeg dumbleg –
selama-lamanya.
وَمَنْ كَانَ فِى هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِى الآخِرَة أعْمَى وَأضَلُّ سَبـِيْلا (الاسراء)
(Dan barang siapa yang buta (hatinya)
niscaya di akhirot kelak ia akan lebih
buta dan lebih tersesat jalannya).
Orang
yang di dunia buta, tidak tahu siapa Tuhannya, otomatis di akhirot akan lebih
jauh dari Tuhannya. Kalau sudah memiliki harus terus
ditingkatkan.
Kemudian
Syekh Asy-Syarqowi Penyarah Hikam mengatakan yang maksudnya bahwa maksud dari
pada pengarang Hikam menguraikan hal tersebut ialah supaya
seseorang jangan sampai menjagakan selain Tuhan. Kok
berarti jangan
beramal, pokok sudah sadar ,…tidak! Seperti saya utarakan tadi. Menjagakan
Tuhan tanpa beramal namanya ‘lamunan’. Tapi kalau menjagakan amal,
namanya ‘syirik’. Dus yang dimaksudkan ialah supaya senantiasa
mengoreksi diri, sehingga dapat setepat-tepatnya.
(إِرَادَتُك َالتَّجْرِيْدَ مَعَ إِقَامَة ِاللهِ إِيَّاكَ فِى اْلأَسْبَاب مِنَ الشَّهْوَة الْخَفِـيَّـةِ, وَإِرَادَتُكَ
اْلأَسْبَابَ مَعَ إِقَـامَة الله اِيَّاكَ فِي التَّجْرِيْدِ انْحِطَاطٌ عَنِ
الْهِمَّةِ الْعَلِـيَّـةِ)
“Tajrid itu sepi. tidak
bekerja, tidak usaha hanya tawakkal / pasrah bongkokan kepada Tuhan, melulu ibadah saja. Tapi ia orang yang harus bekerja. Dia ingin hanya tawakkal saja dan ibadah saja. Padahal dia masih cocok harus usaha atau bekerja. Itu namanya “minas-syahwatil khofiyyah”. Dia terjebak oleh imprialis nafsu tidak merasa. Sehingga hal yang sesungguhnya buruk disangka-nya baik. Tidak tepat
dianggapnya tepat
dianggapnya tepat
Tawakkal dan tidak bekerja, tidak berusaha soal ekonomi, itu mungkin saja terjadi atas diri seseorang. Tapi ada syarat-syaratnya dan ada sebab-sebabnya. Apa itu syarat-syaratnya ? Insya Alloh nanti di belakang atau mungkin besok Minggu lagi diterangkan. Di sini mengenai penda-huluan itu saja dahulu.
Jadi, orang yang masih berada di
dalam maqom asbab masih harus masih berkecimpung dibidang ekonomi, harus
ke sawah harus ke pasar, harus ………usaha ini itu dan sebagainya, kok dianya
tidak mau bekerja dengan alasan aku ini tajrid, tawakkal hanya melulu ibadah
saja, aku mau mujahadah saja, aku mau sembahyang saja, mau….. puasa saja dan
sebagainya misalnya, padahal dia sesungguhnya tidak memenuhi syarat-syarat
untuk itu, itu namanya dia terjebak oleh bujukan nafsu yang sangat halus. Lalu
syarat-syaratnya apa saja ! Nanti, Insya Alloh pengajian besok
Minggu lagi.
Jadi mudahnya, kita harus senantiasa
menye-rah kepada Alloh. Lha tahunya kalau hal tersebut yang dikehendaki
Alloh bagaimana ? insya Alloh nanti atau
pengajian yang akan datang. Terkadang ada orang yang
salah faham. Menyerah bongkokan. Menyerah bongkokan kepada Tuhan, ini harus
seratus persen bulat-bulat menyerah segala-galanya tanpa reserve. Andaikata
disuruh menjermos ke dalam neraka sekalipun misalnya. Harus,…. harus dijalani. Itu
namanya betul-betul menyerah bongkokan. Tidak hanya menyerah sebagian sebagian
saja. Tapi satu bidang kita yakin Tuhan tidak mungkin menjeromoskan hamba-Nya
ke dalam neraka sengsara. Begitu
juga menyerah dan tidak mau berbuat apa apa, itu salah faham
إِنـِّى
أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَـالَمِـيْنَ
(Sesungguhnya aku menyerah kepada Tuhan semesta alam).
Yang menyerah itu hatinya.
Biar disuruh mengerjakan apa saja, harus dikerjakan dengan ikhlas dan dengan
gembira. Hatinya menyerah tapi tidak mau melaksanakan apa-apa yang diperintah-kan,
itu namanya… yah tidak cocok.
Ya mudah mudahan para hadirin hadirot, kita diridloi
Alloh yang
sebanyak-banyaknya, dan memperoleh syafa’atnya Rosululloh , barokahnya Ghoutsi
Hadzaz Zaman wa A’waanihi wa syaairi
ahbaabillah yang sebanyak-banyaknya,
sehingga dapat tepat yang setepat-tepatnya di dalam segala bidang ! Amiin, Amiin , Amiin.
Kiranya pengajian cukup sekian,
waktu dan tempat dipersilahkan kepada Penyiar Sholawat Wahidiyah Pusat.
KEMBALI DAWUH-DAWUH HADLROTUS SYEKH MUALLIF SHOLAWAT WAHIDIYAH, RA.
___________________________________________
Para hadirin hadirot, mari keterangan-keterangan dari
Pusat tadi kita perhatikan dengan sungguh-sungguh. Terutama soal Mujahadah
Kubro besuk bulan Rojab. Mari mulai sekarang kita mencurah-kan perhatian yang
sebanyak-banyaknya sehubungan Mujahadah Kubro yang akan datang itu.
Para hadirin hadirot, sambutan dari Pusat hubungan dengan
pengajian ini, mari para hadirin hadirot, segala perjuangan kita dalam segala
bidang, kita dasari dengan pengajian yang baru kita laksanakan tadi, sehingga
semua itu tadi diridloi oleh Alloh wa Rosulihi ٍ Shollallohu 'alaihi wasallam,
membuahkan manfaat yang sebanyak banyaknya.
Para hadirin hadirot, hubungan sambutan Pusat
yang menyinggung soal pemilu, dimana kita bangsa Indonesia baru melaksanakan
pemilihan Umum 2 Mei yang lalu, mudah-mudahan pemilu yang baru lalu itu membawa
hikmah serta faedah yang sebanyak-banyaknya pada kita bangsa Indonesia,
sehingga semuanya cepat-cepat Fafirruu Ilalloohi wa Rosuulihi Shollallohu 'alaihi wasallam, disamping
jamial ‘alamin.
Para hadirin hadirot, dalam Pemilu itu Alhamdu lillah kita para pengamal
Wahidiyah dan pejuang Fafirruu Ilallohi wa Rosuulihi Shollallohu 'alaihi wasallam dapat ikut serta mengisi bidang tersebut.
Sekali lagi Alhamdulillah. Dan sebenarnya para hadirin hadirot, bidang
tersebut baru sebagian kecil jika dibandingkan dengan obyek perjuangan Fafirruu
Ilallooh wa Rosulihi , yang
meliputi jami’al alamin dalam segala bidang. Dari itu para hadirin
hadirot, mari kegiatan kita terus kita tingkatkan yang sebanyak-banyaknya.
Sekalipun sudah mungkur pekerjaan kita bangsa Indonesia di dalam
melaksanakan pemilu, tapi kita masih menghadapi perjuangan yang lebih besar.
Soal yang maha besar, tanggung jawab kita sebagai hamba Alloh, sebagai ummat
Islam, sebagai bangsa Indonesia, bahkan sebagai pejuang Fafirru Ilalloohi wa
Rosulihi Shollallohu 'alaihi wasallam, masih
besar sekali tanggung jawab kita para hadirin hadirot. Terutama dalam bidang
kesadaran kepada Alloh wa Rosulihi .
Terutama dibidang akhlak bidang-bidang lain para hadirin hadirot. Dari
sebab itu mari kita tingkatkan yang sebanyak-banyaknya perjuangan kita,
perhatian kita.
Mari para hadirin hadirot pada kesempatan ini
kita gunakan untuk munajat kepada Alloh wa Rosulihi Shollallohu 'alaihi wasallam, untuk
soal-soal tadi para hadirin hadirot, mari kita sama-sama ngedhoki /
mengakui kesalahan-kesalahan kita di hadapan Alloh wa Rosulihi Shollallohu 'alaihi wasallam para hadirin hadirot.
Para hadirin hadirot, terutama dalam bidang
perjuangan Fafirruu Ilallohi wa Rosulihi Shollallohu 'alaihi wasallam. Para
hadirin hadirot, di bidang keluarga kita masing-masing dan di dalam segala
bidang sesuatu yang berhubungan dengan pemilu. Mari sowan di hadapan Alloh
wa Rosulihi Shollallohu 'alaihi wasallam. Kita
akui, kita dhoki bahwa kita senantiasa tidak tepat dalam bidang-bidang
tersebut. Mari para hadirin hadirot. Dan mari
sungguh-sungguh memohon, mudah-mudahan di waktu-waktu mendatang dikaruniai yang
setepat-tepatnya dalam segala bidang.
Mari
para hadirin hadirot !
AL
FAA TIHAH ………………….
AL
FAA TIHAH ………………….
AL
FAA TIHAH ………………….
ALLOHUMMA
YAA WAAHIDU YAA AHAD ……………..
(Mujahadah Wahidiyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan memberi komentar. Komentar anda Insya Alah sangat berguna bagi kami dan para pembaca